keadilan adalah
pengakuan dan pelakuan yang seimbang antara hak-hak dan kewajiban. Keadilan
terletak pada keharmonisan menuntut hak dan menjalankan kewajiban. Atau dengan
kata lain, keadilan adalah keadaan bila setiap orang memperoleh apa yang
menjadi hak nya dan setiap orang memperoleh bagian yang sama dari kekayaan
bersama.
Keadilan menurut Aristoteles
adalah kelayakan dalam tindakan manusia. Kelayakan diartikan sebagai titik
tengah antara kedua ujung ekstrem yang terlalu banyak dan terlalu sedikit.
Kedua ujung ekstrem ini menyangkut dua orang atau benda. Bila kedua orang
tersebut mempunyai kesamaan dalam ukuran yang telah ditetapkan, maka
masing-masing orang harus memperoleh benda atau hasil yang sama, kalau tidak
sama, maka masing – masing orang akan menerima bagian yang tidak sama,
sedangkan pelangggaran terjadap proporsi tersebut disebut tidak adil.
Keadilan seharusnya memberikan
kebenaran, ketegasan dan suatu jalan tengah dari berbagai persoalan juga tidak
memihak kepada siapapun. Dan bagi yang berbuat adil merupakan orang yang bijaksana.
Namun banyak cerminan dari keadilan di indonesia yang belum bisa disebut adil.
Sebagai contoh
kasus diatas, nenek Minah tidak pernah menyangka jika perbuatan isengnya
memetik 3 buah kakao di perkebunan milik PT Rumpun Sari Antan (RSA) akan
menjadikannya sebagai pesakitan di ruang pengadilan. Bahkan untuk perbuatannya
itu dia diganjar 1 bulan 15 hari penjara dengan masa percobaan 3 bulan.
Ironi hukum di Indonesia ini
berawal saat Minah sedang memanen kedelai di lahan garapannya di Dusun
Sidoarjo, Desa Darmakradenan, Kecamatan Ajibarang, Banyumas, Jawa Tengah, pada
2 Agustus lalu. Lahan garapan Minah ini juga dikelola oleh PT RSA untuk menanam
kakao.
Ketika sedang
asik memanen kedelai, mata tua Minah tertuju pada 3 buah kakao yang sudah
ranum. Dari sekadar memandang, Minah kemudian memetiknya untuk disemai sebagai
bibit di tanah garapannya. Setelah dipetik, 3 buah kakao itu tidak
disembunyikan melainkan digeletakkan begitu saja di bawah pohon kakao.
Dan tak lama
berselang, lewat seorang mandor perkebunan kakao PT RSA. Mandor itu pun
bertanya, siapa yang memetik buah kakao itu. Dengan polos, Minah mengaku hal
itu perbuatannya. Minah pun diceramahi bahwa tindakan itu tidak boleh dilakukan
karena sama saja mencuri.
Sadar
perbuatannya salah, Minah meminta maaf pada sang mandor dan berjanji tidak akan
melakukannya lagi. 3 Buah kakao yang dipetiknya pun dia serahkan kepada mandor
tersebut. Minah berpikir semua beres dan dia kembali bekerja.
Namun dugaanya
meleset. Peristiwa kecil itu ternyata berbuntut panjang. Sebab seminggu
kemudian dia mendapat panggilan pemeriksaan dari polisi. Proses hukum terus
berlanjut sampai akhirnya dia harus duduk sebagai seorang terdakwa kasus
pencuri di Pengadilan Negeri (PN) Purwokerto.
Dan hari ini,
Kamis (19/11/2009), majelis hakim yang dipimpin Muslih Bambang Luqmono SH
memvonisnya 1 bulan 15 hari dengan masa percobaan selama 3 bulan. Minah dinilai
terbukti secara sah dan meyakinkan melanggar pasal 362 KUHP tentang pencurian.
Dan kemudian
contoh kasus ketidak adilan di indonesia datang dari sulawesi tengah kasus
pencurian sandal jepit yang menjadikan AAL (15) pelajar SMK 3, Palu, Sulawesi
Tengah, sebagai pesakitan di hadapan meja hijau. Ia dituduh mencuri sandal
jepit milik Briptu Ahmad Rusdi Harahap, anggota Brimob Polda Sulteng. Hanya
gara-gara sandal jepit butut AAL terancam hukuman kurungan maksimal lima tahun
penjara.
Proses hukum
atas AAL pun tampak janggal. Ia didakwa mencuri sandal merek Eiger nomor 43.
Namun, bukti yang diajukan adalah sandal merek Ando nomor 9,5. Selama
persidangan tak ada satu saksi pun yang melihat langsung apakah sandal merek
Ando itu memang diambil AAL di depan kamar Rusdi.
Di persidangan,
Rusdi yakin sandal yang diajukan sebagai barang bukti itu adalah miliknya
karena, katanya, ia memiliki kontak batin dengan sandal itu. Saat hakim meminta
mencoba, tampak jelas sandal Ando itu kekecilan untuk kaki Rusdi yang besar.
Kaus pencurian sandal ini tidak hanya menjadi perhatian rakyat indonesia bahkan Amerika dan Singapore memerhatikan kasus ini. mereka menuliskan artikel dengan bertuliskan
"Indonesians have new symbol for injustice: sandals'', ''Indonesians dump flip-flops at police station in symbol of frustration over uneven justice'', serta '' Indonesia fight injustice with sandals''
Ya sungguh ironi memang, jeas sekali
terlihat perbedaannya dengan para penjahat kerah putih. Dari yang hanya memalui
hukuman ringan dan bahkan divonis tidak bersalah padahal telah banyak merugikan
negara, hingga yang iya memeng dia dihukum kurungan penjara namun masih bisa
berjalan jalan diluar hingga berlibur, sungguh lucu memang.
Meskipun,
seyogyanya mencuri atau mengambil barang orang lain sekecil apa pun tanpa izin
adalah perbuatan melanggar hukum. Dan hukum harus ditegakkan. Namun, apakah hal
itu sudah sesuai rasa keadilan di masyarakat?
Sosiolog dari
Universitas Indonesia Imam Prasodjo pernah mengatakan bahwa, hukuman yang diberikan kepada Nenek Minah dan
AAL itu menggambarkan bahwa proses hukum yang mati dari tujuan hukum itu
sendiri. Hukum, kata dia, hanya mengikuti aturan formal, tidak memperhitungkan
subtansi dan hati nurani.
Guru Besar
Hukum Universitas Indonesia Hikmahanto Juwana mengatakan kini hukum hanya tajam
jika kebawah dan tumpul jika berhadapan dengan kalangan atas. Pemerintah,
menurut Hikmahanto, seharusnya peka terhadap rasa ketidakadilan yang terus
dialami rakyat. Hakim terlalu legalistik jika pihak yang lemah menjadi terdakwa.
Untuk kasus korupsi, hakim justru tak menggunakan kacamata kuda, tetapi
seolah-olah memahami tuduhan korupsi tak terbukti dengan melihat konteks.
Sebenarnya ada apa dengan
dunia hukum kita?.
Siapa pun orangnya sama di hadapan hukum,Itu benar seratus
persen. Namun kenyataannya dinegara kita ini berbeda. Tidak semua orang sama di
depan hukum.di Negara ini jika orang besar dituduh berbuat kesalahan apalagi
yang dituduh mempunyai kekuasaan meskipun jelas ada bukti bersalah,
Tak langsung
menerima hukuman. Proses pengadilannya bisa diulur-ulur atau
ditunda-tunda,bahkan bisa sampai ''hilang'' di tengah jalan.
Berbeda dengan
orang kecil yang dituduh berbuat kesalahan,''cepat'' dijatuhi hukuman,padahal
banyak kejadian,kemudian terbukti dia tidak bersalah. Tapi dia sempat menjalani
hukuman sampai bertahun-tahun. Tidak ada ganti rugi apapun dari pemerintah.
Jadi hukum yang bagaimana yang harus ditegakkan di Negara ini? Yang Sering kali
para pemimpin bangsa ini menyuarakannya di media-media. Apakah hanya hukum yang
berdasar pasal demi pasal? Atau hukum yang berkeadilan,berhati nurani,dan bukan
hukum yang buta?.
CLICK DOWN BELLOW
⇓⇓⇓
An Nissa
17516966
PSIKOLOGI
1PA01